Ayah: Pulanglah Nak, Rendang Buatan Ibumu Menunggu
Medianers Dibalik gagang telpon, anak lelaki sibiran tulang berkata pada Ayahnya, "maafkan Aku Ayah. Aku tidak mampu mudik. Pekerjaan kantor banyak menumpuk. Aku tidak mampu izin libur lebaran," katanya. Mendengar itu, guratan wajah sedih sang Ayah tak mampu beliau sembunyikan, bergumam bibirnya. Jatuh ke dalam air matanya. "Pulanglah Nak, Rendang yang dimasak khusus oleh ibumu, hanya untukmu," kata Ayah murung.
Anak lelaki nan didambakan pulang di hari raya lebaran itu, tergagap menjawab. Ia hanya berkata, "maafkan Aku Ayah. Bilang sama ibu, mungkin tahun depan Aku bisa pulang," jawabnya. Lantas, Ayah termenung. Seraya memandang jauh ke depan. Di balik jendela lama, dia menatap kosong, lamunannya terdampar sampai ke ujung sawah. Masih berharap anak yang dirindukan muncul menuju rumah yang ia tempati hanya bersama istri yang telah bau tanah di makan usia.
Sesugukan si Ayah, ia tak kuasa menahan duka. Masih membekas diingatannya bahwa, kemarin siang beliau membeli seonggok daging sapi lengkap dengan bumbu untuk dimasak, dengan cara membongkar celengan. Uang yang di bawa ke pasar ternyata tak cukup. Seketika beliau pulang, dan meninggalkan istrinya sementara di kedai daging. Setelah celengan dibongkar, daging ditebus. Dan beliau bersama istri pulang naik sepeda onthel menyusuri jalan desa. Begitu benar penantiannya, akan menjamu anak lelakinya ketika datang di rumah.
Harapan Ayah dan Ibu, sehabis daging menjadi rendang, akan dimakan bersama anak yang dirindukan telah usang tidak pulang dari rantau. Tapi apa daya, janji anak akan pulang di hari pertama lebaran, pupus seketika, dibatalkan lewat telpon. Sang Ayah menahan isak tangis, beliau bukan lagi lelaki besar lengan berkuasa, gagah perkasa. Kulit wajahnya tampak keriput. Mentalnya pun tak mirip dulu lagi. Akhir-simpulan ini dia sering bersedih, dan menarik diri. Sementara ibu, masih berharap rendang yang telah dihidangkan dari pagi, bisa dicicipi sang anak.
Sembari mengipas-ngipas lalat yang mulai hinggap mencuri lezatnya rendang, si Ibu terlihat khawatir. Hatinya seakan hancur. Dari pagi menunggu, hampir pula sore. Anak yang dinantikan tak kunjung datang. Sementara, Ayah tak memberi tau bahwa, anaknya tidak bakal pulang. Ayah tidak berani mengabarkan kepada Ibu akan hal itu. Ia tidak ingin melihat istrinya kecewa. Ayah lari ke dapur, beliau berusaha menenangkan diri. Minum segelas air putih.
Bulir air meleleh dari liang sudut mata Ayah. Rahang bergetar, bibir bergumam. Ia tak kuasa menahan sedih dan kecewa. Ia menangis tersedu-sedan. Anak yang dirindukan batal pulang ke rumah gara-gara pekerjaan anak menumpuk. Lebaran tahun ini benar-benar terasa hampa dalam keluarganya. Ayah tak tega menyampaikan gosip buruk tersebut pada istrinya, yang telah berharap banyak dari kemarin. Hingga menyiapkan masakan terbaiknya, rendang yang yummy, kesukaan anak dikala belum merantau.
Arah jam terus berputar, Ibu terus memandang ke luar berharap anak datang. Tapi, impian itu tak jua terkabul. Ia mulai sedih, dan pergi ke teras rumah, juga tak melihat anaknya. Ia masuk lagi ke dalam rumah. Memandang menu yang telah acuh taacuh. Air matanya jatuh ke dalam. Ia tak besar lengan berkuasa menahan rasa sedih. Berlalu pergi ke belakang. Ia terlihat gelisah. Tanpa kabar, anak tak kunjung tiba. Sedangkan Ayah masih bersembunyi di dapur. Tak tau apa yang mau dikatakan pada Istri.
Cerita ini, diadopsi dari sebuah film pendek berjudul Penantian, berdurasi 7 menit, 32 detik yang tayang di Youtube. Menceritakan sebuah kerinduan orang tua akan kehadiran sang anak di hari lebaran. Dalam film tersebut, tidak dijelaskan nama pekan raya, juga tidak dijelaskan siapa pembuat konten. Namun, video tersebut telah banyak diunggah di channel berbeda. Kisah ini inspiratif, bagi yang berminat silahkan tonton melalui tautan di bawah ini. Untuk mengetahui akhir dari cerita. (Anton Wijaya)
Comments
Post a Comment